PROBLEMATIKA
PENEGAKKAN DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA (PAK) DI INDONESIA
Anna
Suraya
Berdasarkan
data dari BPJS Ketenagakerjaan klaim PAK akibat kerja di Indonesia tidak sampai
20 kasus dalam 1 tahun terakhir. Pertanyaannya adalah apakah betul kasus PAK
kurang dari 20 kasus dalam 1 tahun atau hanya itu yang dilaporkan? Apakah yang
terdiagnosis lebih dari 20 namun tidak dilaporkan? Bagaimana dengan kasus
lainnya?
Merujuk
pada pertanyaan pertama “Apakah betul hanya ada 20 kasus dalam 1 tahun? Bila
ini jawabannya betul maka persoalan selesai
tidak ada yang perlu kita diskusikan dan Negara kita akan tercatat
sebagai Negara surga bagi para pekerja. Tapi hal ini sangat bertolak belakang
dengan kenyataan di lapangan yang membuat kita harus membuat kajian mengapa klaim
PAK kurang dari 20 kasus dalam 1 tahun?
Dibawah saya copy data dari Kementerian Kesehatan RI tahun
2014 tentang jumlah kasus penyakit akibat kerja di Indonesia dan pada tiap tiap
provinsi. Beberapa pertanyaan yang muncul diantaranya adalah, mengapa sangat
jauh sekali data mengenai PAK dari Kemenkes dengan klaim BPJS KK? Apakah
laporan dari Kemenkes tidak menjadi bahan rujukan klaim BPJS KK? Bagaimana
seharusnya alur pelaporan PAK sehingga semua pihak terkait dapat mengetahuinya
dan dapat memanfaatkan klain BPJS KK?
Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mencari penyebab
rendahnya tingkat klaim PAK di BPJS KK dan adanya perbedaan angka laporan PAK
di Kemenkes dengan klaim BPJS KK.
ALUR PELAYANAN DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Pekerja datang ke pusat kesehatan dengan beberapa kemungkinan
diantaranya untuk pencegahan, pengobatan ataupun rehabilitasi. Sesuai dengan
tempat dan kebutuhan maka kemungkinan apabila sakit pekerja akan datang ke
klinik perusahaan, klinik layanan primer atau langsung ke rumah sakit. Bila
terkait Dengan program pemeriksaan kesehatan tahunan maka pekerja akan
diperiksa oleh provider MCU.
Dalam hal penggunaan BPJS kesehatan maka pekerja harus
mendapat rujukan dari layanan primer atau PPK I untuk mendapatkan layanan
kesehatan lebih lanjut di rumah sakit dan akan dilayani sesuai kapasitas rumah
sakit atau di rujuk bila membutuhkan ke tingkat yang lebih tinggi .
Berdasarkan alur tersebut maka kemungkinan diagnosis penyakit
akibat kerja dapat ditemukan di klinik perusahaan, layanan primer, rumah sakit
maupun provider MCU.
Secara administratif fasilitas kesehatan memberikan laporan
diagnosis seluruh penyakit ke Dinas
Kesehatan setempat. Dalam kaitan pembiayaan Fasilitas Kesehatan memberikan
laporan ke pihak asuransi. Dalam hal diagnosis PAK terdapat perbedaan laporan
dimana Fasilitas Kesehatan yang menjadi anggota BPJS KK akan melaporkan PAK
kepada BPJS KK dan Disnaker setempat sedangkan Fasilitas Kesehatan yang bukan
anggota BPJS KK melaporkan sesuai alur administratif yaitu ke Dinas Kesehatan
setempat. Bila terdapat PAK di Fasilitas Kesehatan yang bukan anggota BPJS KK
maka klaim BPJS KK diajukan oleh pihak pemberi kerja dengan form yang sudah
tersedia.
Penyakit Akibat Kerja yang terdiagnosis pada MCU dilaporkan
pada pemilik perusahaan untuk dilakukan follow up terkait kliam BPJS KK. Adapun
provider MCU yang merupakan PJK3 harus melaporkan PAK pada Disnaker setempat
secara administratif.
Dari alur pelaporan tersebut dapat diketahui terdapat
beberapa kemungkinan adanya gap data antara Kementerian Kesehatan, Kementrerian
Tenaga Kerja dan BPJS KK. Terdapat kemungkinan PAK yang terdiagnosis di
Fasilitas Kesehatan bukan anggota BPJS KK tidak dilaporkan untuk mendapatkan
klaim asuransi BPJS KK. Sebaliknya ada kemungkinan tumpang tindih laporan dari
Provider MCU dengan Klinik Perusahaan atau pihak pemberi kerja.
Gambar 1. Alur Pelayanan dan Laporan PAK
PENEGAKAN DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Berdasarkan gambar alur pada bagian terdahulu kemungkinan
diagnosis PAK dapat ditemukan di klinik perusahaan, layanan primer, rumah sakit
maupun provider MCU. Secara garis besar kasus PAK di Indonesia dapat merupakan
kasus yang dilaporkan dan kasus yang tidak dilaporkan. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan kasus yang dilaporkan adalah kasus PAK yang dilaporkan ke BPJS
KK dan Disnaker sehingga mendapatkan klaim PAK.
Kasus yang tidak dilaporkan dapat merupakan kasus yang sudah
terdiagnosis sebagai PAK ataupun kasus yang tidak terdiagnosis sebagai PAK. Di
bawah akan diuraikan beberapa kemungkinan mengapa PAK tidak dilaporkan ataupun
tidak terdiagnosis pada beberapa tingkatan pelayanan kesehatan.
1.
Kasus PAK yang Dilaporkan.
2.
Kasus PAK yang Tidak Dilaporkan
Kasus yang tidak dilaporkan dapat merupakan kasus yang telah
terdiagnosis atau kasus yang belum terdiagnosis. Kasus yang terdiagnosis merupakan
kasus PAK yang telah diketahui melalui serangkaian pemeriksaan namun karena
berbagai alasan tidak dilaporkan. Kasus yang tidak terdiagnosis merupakan kasus
PAK yang luput dari perhatian saat mendapatkan layanan kesehatan.
a.
Kasus PAK yang Terdiagnosis
·
Kasus PAK di Klinik
Perusahaan yang Tidak Dilaporkan
Dengan
wawancara dan pemeriksaan fisik banyak diagnosis PAK bisa ditegakkan di klinik
perusahaan. Klinik perusahaan tidak melaporkan kasus PAK yang terdiagnosis ke
BPJS KK dan Disnaker kemungkinan karena berbagai alasan antara lain adalah :
(1) klinik memberikan laporan kepada pihak pemberi kerja namun pemberi kerja
tidak meneruskan laporan tersebut ke BPJS KK dan Disnaker, (2) klinik sendiri
tidak membuat laporan PAK tersebut. Pihak
pemberi kerja tidak melaporkan PAK kemungkinan untuk menghindari “stigma”
negatif terhadap PAK atau karena ingin mempertahankan predikat “zero accident”.
Klinik
tidak melaporkan kemungkinan karena menganggap PAK cukup ringan dan dapat
diatasi di klinik seperti misalnya kasus kelelahan akibat kerja, stress akibat
kerja dan myalgia atau nyeri otot sendi akibat kerja.
·
Kasus PAK di Layanan
primer yang Tidak Dilaporkan
Kasus
PAK pada tingkat layanan primer diluar klinik perusahaan yang tidak dilaporkan
dapat disebabkan (1) klinik/layanan primer tidak mengetahui bahwa PAK harus
dilaporkan dan klaim akan pindah ke BPJS KK
(2) Klinik/layanan primer secara administasi melapor ke Dinas Kesehatan
sehingga klinik/layanan primer merasa sudah memenuhi kewajiban administrasinya (3)
Klinik/layanan primer tidak mau melaporkan PAK karena dapat merepotkan pasien
dan pelayanan karena prosedur pembiayaan yang berbeda antara BPJS Kesehatan dan
BPJS KK.
Untuk
layanan primer yang sudah bekerjasama dengan BPJS KK sebagai trauma centre,
proses pelaporan kasus PAK seharusnya tidak bermasalah
·
Kasus PAK di Rumah
sakit yang Tidak Dilaporkan
Administrasi
pelaporan antara layanan primer dan Rumah Sakit tidak terlalu berbeda sehingga penyebab
PAK tidak dilaporkan tidak jauh berbeda.
Dalam
satu diskusi dengan salah satu dokter Rumah sakit kami menangkap bahwa dokter
menyimpan kasus “diduga PAK” karena beranggapan akan merepotkan pasien, karena
BPJS kesehatan akan mencoret klaim sementara mereka belum mendapat informasi
yang lengkap tentang peralihan penanggung menjadi BPJS KK.
Pada
fasilitas kesehatan yang bukan trauma centre proses peralihan ini juga
membutuhkan keterlibatan perusahaan maupun keluarga karena sistem penggantian
yang tidak langsung. Proses peralihan ini dapat memakan waktu pelayanan
sehingga dokter maupun tenaga medis lainnya “menyimpan” adanya dugaan PAK.
·
Provider MCU
Ditingkat
provider MCU laporan hasil pemeriksaan diberikan kepada manajemen perusahaan
sehingga perusahaan dapat meneruskan klaim PAK ke BPJS KK dan Disnaker. Pengalaman penulis sebagai konsultan provider
MCU, dengan pelaksanaan MCU seperti yang banyak dilakukan saat ini, dokter atau
petugas kesehatan sering ragu untuk menetapkan PAK karena data pajanan yang
kurang lengkap dan sering meragukan.
b.
Kasus PAK yang Tidak
terdiagnosis
·
Kasus PAK yang Tidak
Terdiagnosis di Klinik perusahaan
Pada
tingkat klinik perusahaan PAK tidak terdiagnosis karena beberapa hal (1) tenaga
medis tidak kompeten dalam melakukan diagnosis PAK, (2) sarana untuk melakukan
diagnosis PAK tidak memadai.
Beberapa
PAK yang sudah familiar mungkin tidak terlalu sulit untuk diketahui
diagnosisnya namun terdapat kasus PAK yang cukup sulit dan membutuhkan rujukan
lebih lanjut sehingga belum dapat ditegakkan pada tingkat perusahaan. Pada
kasus sulit seperti ini butuh komitmen yang kuat dari pihak pemberi kerja untuk
memberikan dukungan agar PAK dapat di tegakkan. Hal lain yang mungkin terjadi
adalah bahwa petugas tidak mengenal betul risiko yang ada di tempat kerja
sehingga terlambat mengenali gejala PAK
pada pekerja.
·
Kasus PAK yang Tidak
Terdiagnosis di Layanan Primer
Kasus
PAK ditingkat layanan primer dapat terdiagnosis dengan beberapa alasan antara
lain (1) Petugas kesehatan tidak mengetahui PAK (2) petugas kesehatan tidak
memiliki kompetensi dalam menegakkan PAK (3) sarana untuk menegakkan diagnosis
terbatas (4) data yang dapat digunakan untuk mendukung diagnosis terbatas.
Dalam
praktek kedokteran sehari hari dan dengan beban jumlah pasien yang banyak,
sangat mungkin dokter atau petugas kesehatan tidak mengetahui bahwa pasien
menderita PAK karena kasus PAK sulit ditegakkan tanpa wawancara yang mendalam. Dalam
hal ini maka inisiatif dari pekerja untuk menjelaskan latar belakang pekerjaan
menjadi sangat penting. Tanpa informasi yang cukup lengkap petugas kesehatan
pada tingkat layanan primer akan mengalami kesulitan dalam menegakkan diagnosis
PAK.
Beberapa
PAK membutuhkan kompetensi khusus dalam penegakkan diagnosisnya seperti
pneumokoniosis yang mengharuskan dokter memiliki sertifikat ILO radiograf dalam
penegakkannya. Selain itu sarana yang tersedia pada fasilitas layanan primer
sering belum memadai untuk menegakkan PAK.
·
Kasus PAK yang tidak
terdiagnosis di Rumah Sakit
Sebagian
permasalahan pada fasilitas pelayanan primer juga dialami oleh Rumah sakit
namun dalam hal sarana rumah sakit lebih lengkap. Dalam satu diskusi dengan
sejawat kami mendapatkan informasi bahwa tenaga kesehatan di RS kesulitan
menegakkan diagnosis PAK karena adanya dualisme sistem pembiayaan. Ketika suatu
gejala dicurigai akibat kerja dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan maka pihak
BPJS Kesehatan tidak mau menanggung proses pemeriksaan yang akan mengarah pada
kemungkinan PAK. Dilain pihak karena belum terdiagnosis sebagai PAK maka pihak
BPJS KK juga belum mau memberikan jaminan pembiayaan proses tersebut. Dalam
kondisi seperti ini maka tenaga medis biasanya hanya berhenti pada terapi
kondisi kesehatan yang ditemukan tanpa menyelidiki lebih lanjut kemungkinan
penyebab penyakit.
·
Provider MCU
Penyelenggara MCU
sendiri masih sangat beragam mulai dari klinik kecil dengan penyelenggaraan dan
pemeriksaan yang sangat sederhana sampai pada penyelenggara yang memiliki
fasilitas dan sistem pelaporan yang baik. Pengetahuan tentang PAK juga sangat
berbeda di antara penyelenggara tersebut. Hal lain yang juga menjadi
pertimbangan adalah pelaksanaan MCU yang bersifat massal dapat mengurangi
ketajaman dan kedalaman wawancara dengan pekerja terkait pajanan di tempat
kerja sehingga PAK sulit ditegakkan.
Gambar 2. Ringkasan Permasalahan
Diagnosis PAK di Berbagai Fasilitas Kesehatan
KESIMPULAN
1. Belum
adanya koordinasi antara Dinas kesehatan,
BPJS KK dan Dinas ketenagakerjaan sehingga timbul gap yang cukup besar dalam
jumlah kasus PAK yang dilaporkan Kemenkes dengan pengajuan klaim BPJS KK.
2. Kasus
PAK tidak dilaporkan kemungkinan disebabkan petugas kesehatan yang tidak
mengetahui bahwa PAK harus dilaporkan dan mendapat tanggungan pembiayaan dari
BPJS KK, pelaporan dianggap menyulitkan dari segi administrasi dan pembiayaan
serta keraguan akan data pendukung
3. Kemungkinan
perusahaan tidak mau melaporkan PAK karena kekhawatiran “stigma negative” dan
tidak tercapainya “zero accident”
4. Kasus
PAK yang tidak terdiagnosis kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan,
kompetensi dan sarana pendukung diagnosis.
5. Ketidak
jelasan penanggung biaya dalam proses penegakkan diagnosis PAK menjadi kendala
dalam diagnosis PAK terutama di level rumah sakit rujukan
6. Pada
fasilitas kesehatan yang bukan trauma centre dibutuhkan inisiatif yang kuat
dari pekerja dan pemberi kerja dalam penegakkan PAK
SARAN
1. Koordinasi
antara Kemenkes, kemenaker dan BPJS KK dalam manajemen PAK
2. Kepada
pihak BPJS KK
· Memberikan sosialisasi lebih luas kepada
seluruh penyelenggara pelayanan kesehatan, pekerja dan pihak pemberi kerja
tentang adanya jaminan asuransi PAK
·
Membuat sistem pelayanan dan pembiayaan
yang lebih sederhana
·
Memberikan pedoman coverage proses penegakkan
dugaan PAK
3. Pihak
Kemenaker
·
Memberikan sosialisasi pentingnya
penegakkan PAK dalam pencegahan kasus selanjutnya
· Memberikan dukungan bagi perusahaan yang
membuat laporan PAK
· Memberikan sosialisasi pada PJK3
penyelenggaran pemeriksaan kesehatan pekerja mengenai PAK
4. Pihak
Kemenkes
·
Memberikan sosialisasi dan edukasi
penegakkan PAK bagi tenaga medis
·
Memberikan pedoman rujukan dan
kompetensi penegakkan diagnosis PAK
5. Pihak
Pemberi Kerja / perusahaan
·
Memberikan sosialisasi tentang PAK pada
pekerja
· Melibatkan tenaga medis dalam pembuatan
analisa resiko kesehatan sehingga memudahkan dalam mengenali PAK
· Memberikan dukungan dalam proses
penegakkan PAK pada pekerja
· Melakukan perencanaan yang lebih baik
pada saat penyelenggaraan MCU dengan menyiapkan analisa risiko kesehatan dan
pengelompokan pekerja dengan pajanan yang serupa secara lebih rinci dan terukur